PERCOBAAN 1 KELARUTAN INTRINSIK OBAT

PRAKTIKUM FARMASI FISIK 1
PERCOBAAN 1
KELARUTAN INTRINSIK OBAT


OLEH
NAMA : MEI KURNIAWATI
NIM : F1F111054
KELAS : A
KELOMPOK : II
ASISTEN : DIAN PERMANA, S.Si

JURUSAN FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2012

PERCOBAAN I
KELARUTAN INTRINSIK OBAT

A. Tujuan
Memperkenalkan konsep dan proses pendukung system kelarutan obat dan menentukan parameter kelarutan obat.
B. Landasan Teori
Kelarutan suatu zat terlarut adalah jumlah maksimum dari zat terlarut yang dapat dilarutkan dalam sejumlah tertentu pelarut atau sejumlah larutan pada temperature tertentu. Senyawa yang terlarut disebut solut dan cairan yang melarutkan disebut solven, yang bersama-sama membentuk suatu larutan. Proses pelarutan disebut solvasi atau hidrasi jika pelarutnya air. Suatu larutan saat kesetimbangan tidak dapat menahan solut lagi dan disebut jenuh. Larutan dalam keadaan tertentu dapat menahan lebih banyak solut lebih dari keadaan normal solven. Ini disebut lewat jenuh. (Jones, L. 2005).
Kelarutan merupakan salah satu sifat fisikokimia yang penting untuk diperhatikan pada tahap preformulasi sebelum memformula bahan obat menjadi sediaan. Beberapa metode dapat digunakan untuk meningkatkan kelarutan obat, antara lain: melalui pembentukan garam, perubahan struktur internal kristal (polimorfi) atau penambahan suatu bahan penolong, misalnya bahan pengompleks, surfaktan dan kosolven (Yalkowsky, 1981).
Kelarutan suatu zat sangat dipengaruhi oleh polaritas pelarut. Pelarut polar akan melarutkan lebih baik zat-zat polar dan ionik, begitu pula sebaliknya. Kelarutan juga bergantung pada struktur zat, seperti perbandingan gugus polar dan non polar dari suatu molekul. Makin panjang rantai gugus non polar suatu zat, makin sukar zat tersebut larut dalam air. Menurut Hilderbrane : kemampuan zat terlarut untuk membentuk ikatan hidrogen lebih pentig dari pada kemolaran suatu zat (Sukmawati, 2005).
Pada perendaman menggunakan larutan NaOH, menunjukkan bahwa dengan semakin meningkatnya konsentrasi NaOH dan waktu proses perendaman maka dapat menaikkan kelarutan aluminium. Hal ini menunjukkan semakin banyak logam aluminium yang terkikis berarti semakin banyak nuklidanuklida yang menempel di logam yang terlepas. kelarutan aluminium meningkat, jikawaktu perendaman yang digunakan terlalu lama maka proses dekontaminasi menjaditidak efektif. ( Mirawati, 2006 )
Elektrolit lemah dan molekul-molekul nonpolar seringkali mempunyai kelarutan dalam air yang buruk. Kelarutannya biasanya dapat ditingkatkan dengan penambahan suatu pelarut yang dapat bercampur dengan air dimana dalam pelarut tersebut obat mempunyai kelarutan yang baik. Proses ini dikenal sebagai kosolvensi, dan pelarut-pelarut yang digunakan dalam kombinasi untuk meningkatkan kelarutan zat terlarut dikenal sebagai kosolven. Mekanisme yang mengakibatkan penambahan kelarutan melalui kosolvensi tidak dimengerti dengan jelas. Etanol, sorbitol, propilen glikol, dan beberapa anggota dari seri polimer polietilen glikol memperlihatkan jumlah terbatas dari kosolven yang berguna, dan dapat diterima secara umum dalam formulasi cairan-cairan dalam air. Kosolven tidak hanya digunakan untuk mempengaruhi kelarutan obat tersebut, tetapi juga untuk memperbaiki kelarutan dari konstituen-konstituen yang mudah menguap yang digunakan untuk memberi rasa dan bau yang diinginkan ke produk tersebut. Molekul-molekul dalam obat padat diikat bersama oleh gaya intermolekular tertentu misalnya gaya dipol-dipol imbas, dipol-dipol dan interaksi ion-ion, demikian pula halnya dengan solven. pelarut dibedakan atas polar, semi polar, atau non polar tergantung dari besarnya ikatan yang bersangkutan. (Alfred, 1990)
Kelarutan obat sebagian besar disebabkan oleh polaritas dari pelarut, yaitu oleh dipol momennya. Sesuai dengan hal itu, air bercampur dengan alkohol dalam segala perbandingan & melarutkan gula dan senyawa polihidrasi yang lain. selain itu pelarut biasanya memiliki beda titik didih(∆Tb) rendah dan lebih mudah menguap meninggalkan substansi terlarut. Dan yang jelas pelarut jumlahnya lebih besar daripada zat terlarut. ( James, 1990 ).
C. Alat dan Bahan
• Alat :
 Tabung reaksi 7 buah
 Erlenmeyer 250 ml 7 buah
 Timbangan
 Corong
 Buret 50 ml
 Statif dan klem
 Pipet tetes
 Pipet ukur 10 ml
 Filler
• Bahan :
 Asam salisilat
 Ethanol 95%
 Indicator fenoftalin
 Larutan NaOH 0,1 N
 Aquades
 Kertas saring
D. Prosedur Kerja
a. Tabung 1

 Dimasukkan dalam tabung reaksi
 Ditambahkan asam salisilat 0,5 gr
 Ditambahkan dengan 4 ml propyleneglycol
 Dikocok selama 30 menit
 Disaring

 Ditambahkan dengan beberapa tetes indicator fenolftalin
 Dititrasi dengan menggunakan NaOH 0,1 N
 Diamati perubahan yang terjadi

 Dimasukkan dalam tabung reaksi
 Ditambahkan 0,5 ml etanol
 Ditambahkan asam salisilat 0,5 gr
 Ditambahkan dengan 3,5 ml propyleneglycol
 Dikocok selama 30 menit
 Disaring

 Ditambahkan dengan beberapa tetes indicator fenolftalin
 Dititrasi dengan menggunakan NaOH 0,1 N
 Diamati perubahan yang terjadi

 Dimasukkan dalam tabung reaksi
 Ditambahkan 1 ml ethanol
 Ditambahkan asam salisilat 0,5 gr
 Ditambahkan dengan 3 ml propyleneglycol
 Dikocok selama 30 menit
 Disaring

 Ditambahkan dengan beberapa tetes indicator fenolftalin
 Dititrasi dengan menggunakan NaOH 0,1 N
 Diamati perubahan yang terjadi

 Dimasukkan dalam tabung reaksi
 Ditambahkan 1,5 ml ethanol
 Ditambahkan asam salisilat 0,5 gr
 Ditambahkan dengan 1,5 ml propyleneglycol
 Dikocok selama 30 menit
 Disaring

 Ditambahkan dengan beberapa tetes indicator fenolftalin
 Dititrasi dengan menggunakan NaOH 0,1 N
 Diamati perubahan yang terjadi

 Dimasukkan dalam tabung reaksi
 Ditambahkan 3 ml ethanol
 Ditambahkan asam salisilat 0,5 gr
 Ditambahkan dengan1 ml propyleneglycol
 Dikocok selama 30 menit
 Disaring

 Ditambahkan dengan beberapa tetes indicator fenolftalin
 Dititrasi dengan menggunakan NaOH 0,1 N
 Diamati perubahan yang terjadi

 Dimasukkan dalam tabung reaksi
 Ditambahkan 3,5 ml ethanol
 Ditambahkan asam salisilat 0,5 gr
 Ditambahkan dengan 0,5 ml propyleneglycol
 Dikocok selama 30 menit
 Disaring

 Ditambahkan dengan beberapa tetes indicator fenolftalin
 Dititrasi dengan menggunakan NaOH 0,1 N
 Diamati perubahan yang terjadi

 Dimasukkan dalam tabung reaksi
 Ditambahkan 4 ml ethanol
 Ditambahkan asam salisilat 0,5 gr
 Dikocok selama 30 menit
 Disaring

 Ditambahkan dengan beberapa tetes indicator fenolftalin
 Dititrasi dengan menggunakan NaOH 0,1 N
 Diamati perubahan yang terjadi
E. Hasil Pengamatan

e. Kurva

F. Pembahasan
Kelarutan adalah kadar solut dalam sejumlah solven pada suhu tertentu yang menunjukan bahwa interaksi spontan satu atau lebih solut atau solven telah terjadi dan membentuk dispersi molekuler yang homogen. Kelarutan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu pH, temperatur(suhu), jenis pelarut, bentuk dan ukuran partikel zat, konstanta dielektrik pelarut dan adanya zat-zat lain, misalnya surfaktan pembentuk kompleks, ion sejenis.
Pada percobaan ini digunakan beberapa larutan sebagai sampel diantaranya, Aquades, Etanol, Propylenglycol, Natrium hidroksida (NaOH) dan fenolptalein sebagai indikator. Seringkali zat terlarut lebih larut dalam campuran pelarut dari pada dalam satu pelarut saja. Gejala ini dikenal dengan melarut bersama (cosolvency). Metode yang digunakan adalah metode titrasi asam basa, yaitu suatu metode yang digunakan untuk menentukan konsentrasi suatu larutan yang belum diketahui konsentrasinya dengan menggunakan larutan standar yang telah diketahui konsentrasinya, oleh karena itu pada percobaan digunakan larutan NaOH yang telah diketahui konsentrasinya yaitu 0,1 N.
Percobaan dilakukan dengan menggunakan 7 tabung yang berbeda. Etanol dan Propylenglycol dimasukkan secara terpisah kedalam masing-masing tabung yang telah berisi 6 ml aquades berdasarkan volume yang telah ditentukan, yaitu etanol pada tabung 2 = 0,5 ml, tabung 3 = 1 ml, tabung 4 = 1,5ml, tabung 5 = 3ml, tabung 6 = 3,5ml dan tabung 7 = 4 ml. Sedangkan volume Propylenglycol pada masing-masing tabung yaitu : tabung 1 = 4 ml, tabung 2 = 3,5 ml, tabung 3 = 3 ml, tabung 4 = 1,5 ml, tabung 5 = 1ml, dan tabung 6 = 0,5 ml. Kemudian masing-masing ditambahkan ditambahkan 2,5 gr Asam Salisilat kemudian dikocok selama 30 menit. Maksud dari penggocokkan adalah unutk membuat larutan ini homogeny antara ethanol, propylenglikol dan asam salisilat pada masing tabung. Setelah proses penggocokkan selesai larutan disaring untuk memisahkan antara fitrat dan residu dari larutan tersebut. Setelah itu filtrat diambil untuk dititrasi sedangkan residu dari larutan tidak digunakan. Filtrat tersebut ditambahkan beberapa tetes Indikator dan dititrasi dengan larutan NaOH. Masing-masing tabung memiliki volume titrasi yang berbeda, tabung 1 = 8,1 ml, tabung 2 = 8 ml, tabung 3 = 7 ml, tabung 4 = 4,8 ml, tabung 5 = 7,2 ml, tabung 6 = 8,3 ml, dan tabung 7 = 8,8 ml.
Setelah diketahui volume titrasinya, ditentukan kadar asam salisilat pada masing – masing tabung. Diperoleh kadar asam salisilat yang paling besar yaitu pada tabung 7 yaitu 0,352 M karena hal ini dipengaruhi volume dari NaOH yang lebih besar, dan yang paling sedikit yaitu pada tabung 4 yaitu 0,192 M, dari sini dapat dikatakan bahwa besarnya kadar asam salisilat ditentukan pula dengan volume NaOH, semakin besar volumenya maka semakin besar pula kadar asam salisilatnya begitupun sebaliknya.
Kemudian ditentukan pula konstanta dielektrik air dalam pelarut campur, yaitu dengan mengalikan jumlah dan persen volume air yaitu : 48,24. Dengan cara yang sama ditentukan kostanta dialetrik pada ethanol yaitu pada tabung 1 = 0; tabung 2 = 1,285; tabung 3 = 2,57; tabung 4 = 3,855; tabung 5 = 7,71; tabung 6 = 8,995 dan tabung 7 = 10,28, sedangkan konstanta dielektrik pelarut campur pada Porpilenglikol yaitu pada tabung 1 = 20; tabung 2 = 17,5; tabung 3 = 15; tabung 4 = 12,5; tabung 5 = 5; tabung 6 = 2,5; tabung 7 = 0. Dari semua kostanta dielektrik antara air, ethanol, dan propylenglikol didapatkan konstanta dielektrik dari pelarut campur (air + ethanol + propylenglikol), yaitu pada tabung 1 = 68,24; tabung 2 = 67,025; tabung 3 = 65,81; tabung 4 = 64,595; tabung 5 = 60,95; tabung 6 = 59,735; tabung 7 = 58,52.
Gugus polar dari asam salisilat adalah gugus -OH dan gugus nonpolar pada asam salisilat adalah gugus cincin benzen. Struktur tersebut menyebabkan asam salisilat dapat larut pada sebagian pelarut polar dan sebagian pada pelarut non polar. Namun, karena memiliki gugus polar dan non polar sekaligus dalam satu gugus, asam salislat sukar larut dengan sempurna pada pelarut polar saja atau pelarut non polar saja. Asam salisilat sukar larut pada air yang merupakan pelarut non polar, tetapi mudah larut pada etanol yang merupakan pelarut semi polar.
Berdasarkan teori terjadi perbedaan dengan hasil percobaan yang telah dilakukan. Hal ini kemungkinan dikarenakan, pengocokan terhadap larutan tidak merata dan kurang hati-hati serta kecepatan tirasi larutan NaOH yang berlebihan sehingga volumenya besar dan menghasilkan warna yang lebih terang.
Dari hasil percobaan, dapat diketahui bahwa semakin kecil volume NaOH maka jumlah kadar asam salisilatnya akan semakin besar. Sebaliknya, apabila volume NaOHnya besar maka kadar asam salisilatnya juga sedikit. Pada keadaan ini, suhu dan ukuran permukaan sangat berpengaruh, semakin tinggi suhu semakin cepat suatu zat akan larut. Semakin kecil luas permukaan, semakin cepat pula suatu zat itu larut.

G. Kesimpulan
Kelarutan merupakan salah satu sifat fisikokimia yang penting untuk diperhatikan pada tahap preformulasi sebelum memformula bahan obat menjadi sediaan. Proses kelarutan zat dipengaruhi oleh polaritas pelarut yaitu momen dipolnya, dimana pelarut polar akan melarutkan lebih baik zat-zat polar dan ionik. Besarnya tetapan dielektrik yang terjadi pada proses kelarutan dapat diatur dengan penambahan pelarut lain.
D A F T A R P U S T A K A

Anonim, 1979. Farmakope Indonesia edisi III. Depkes RI, Jakarta
Jones, L. 2005. Farmasi Fisika edisi 1. Yogyakarta: UGM press
Martin, Alfred, dkk. 1990. Farmasi Fisik edisi 3. Jakarta: Universitas Indonesia press.

Rahardjo, sentot budi. 2008. Kimia Berbasis Eksperimen . Solo : PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.

R.W, Erindyah dan Sukmawati, Anita.2005. ‘Peningkatan Kelarutan Penta-gamavunon-1 melalui Pembentukan Kompleks dengan Polivinilpirolidon’, Jurnal Penelitian Sains & Teknologi, Vol. 6(2), Hal : 127 – 137.

Swarbrick, J. 1995. Kimia Fisika. Solo : Penerbit Erlangga
Yalkowsky, S. H. 1981. Techniques of Solubilization of Drugs, pp. 135-143, New York: Marcel Dekker.

Tinggalkan komentar