Arsip

PERCOBAAN III KOEFISIEN PARTISI

PRAKTIKUM FARMASI FISIK 1

PERCOBAAN III

KOEFISIEN PARTISI

OLEH

                                    NAMA                : MEI KURNIAWATI

                                    NIM                    : F1F111054

                                    KELAS               : A

                                    KELOMPOK    : II

                                    ASISTEN           : LD. ABDUL KADIR, S.Si

 

 

JURUSAN FARMASI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS HALUOLEO

KENDARI

2012

PERCOBAAN III

KOEFISIEN PARTISI

 

  1. TUJUAN PERCOBAAN

Mengetahui pengaruh pH terhadap koefisien partisi obat yang bersifat asam lemah dalam campuran pelarut kloroform-air.

 

  1. LANDASAN TEORI

Koefisien partisi minyak-air adalah suatu petunjuk sifat lipofilik atau hidrofobik dari molekul obat. Lewatnya obat melalui membran lemak dan interaksi dengan makro molekul pada reseptor kadang-kadang berhubungan baik dengan koefisien partisi oktanol/air dari obat.

Jika kelebihan cairan atau zat pelarut ditambahkan ke dalam campuran dari dua cairan tidak bercampur, zat itu akan mendistribusi diri diantara kedua fase sehingga masing-masing menjadi jenuh. Jika zat itu ditambahkan ke dalam pelarut tidak tercampur dalam jumlah yang tidak cukup untuk menjenuhkan larutan, maka zat tersebut tetap berdistribusi di antara kedua lapisan dengan perbandingan konsentrasi tertentu. Jika C1 dan C2 adalah konsentrasi kesetimbangan zat dalam pelarut1 dan pelarut2, persamaan kesetimbangan menjadi :

 

Tetapan kesetimbangan K dikenal sebgai perbandingan distribusi, koefisien distribusi atau koefisien partisi. Persamaan yang dikenal dengan hukum distribusi, jelas hanya dapat dapakai dalam larutan encer dimana koefisien keaktifan dapat diabaikan (Martin, 1993).

Pelarut secara umum dibedakan atas dua pelarut, yaitu pelarut air dan bukan air. Salah satu ciri penting dari pelarut tetapan dielektriknya (E), yaitu gaya yang bekerja antara dua muatan itu dalam ruang hampa dengan gaya yang bekerja pada muatan itu dalam dua pelarut. Tetapan ini menunjukkan sampai sejauh mana tingkat kemampuan melarutkan pelarut tersebut. Misalnya air dengan tetapan dielektriknya yang tinggi (E = 78,5) pada suhu 25oC, merupakan pelaruit yang baik untuk zat-zat yang bersifat polar, tetapi juga merupakan pelarut yang kurang baik untuk zat-zat non polar. Sebaliknya, pelarut yang mempunyai tetapan dielektrik yang rendah merupakan pelarut yang baik untuk zat non polar dan merupakan pelarut yang kurang baik untuk zat berpolar (Rifai, 1995).

Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi distribusi zat dalam larutan, yaitu :

  1. Temperatur, kecepatan berbagai reaksi bertambah kira-kira 2 atau 3 tiap kenaikan suhu 10oC.
  2. Kekuatan Ion, semakin kecil konsentrasi suatu larutan maka laju distribusi makin kecil.
  3. Konstanta Dielektrik, efek konstanta dielektrik terhadap konstanta laju reaksi ionik diekstrapolarkan sampai pengenceran tak terbatas, yang pengaruh kekuatan ionnya 0. Untuk reaktan ion yang kekuatannya bermuatan berlawanan maka laju distribusi reaktan tersebut adalah positif dan untuk reaktan yang muatannya sama maka laju distribusinya negatif.
  4. Katalisis, katalisis dapat menurunkan laju – laju distribusi (Katalis negatif). Katalis dapat juga menurunkan energi aktivitas denganss mengubah mekanisme reaksi sehingga kecepatan bertambah.
  5. Katalis Asam Basa Spesifik, laju distribusi dapat dipercepat dengan penambahan asam atau basa. Jika laju peruraian ini terdapat bagian yang mengandung konsentrasi ion hidrogen atau hidroksi.
  6. Cahaya Energi, cahaya seperti panas dapat memberikan keaktifan yang diperlukan untuk terjadi reaksi. Radisi dengan frekuensi yang sesuai dengan energi yang cukup akan diabsorbsi untuk mengaktifkan molekul – molekul (Cammarata, 1995).

Koefisien partisi terlarut dari organik-ke-air, K≡Corg / Caq, ditentukan secara eksperimen dengan menggunakan perunut radioaktif. Sevolume yang sama fasa organik dan air disetimbangkan dalam tabung terbuat dari teflon. Kedua cairan tersebut dipaksa-kontakkan dengan cara mengocoknya menggunakan pengaduk magnetik selama sekitar 24 jam. Kuantitas AA dalam kedua fasa ditentukan setelah sebelumnya disentrifugasi. Koefisien aktivitas AA kemudian dihitung dengan ungkapan :

 

bila K dan Kref  masing-masing adalah koefisien partisi AA pada konsentrasi tertentu garam, Cs, dan untuk Cs = 0 (rujukan) (Hendrawan, 2002).

Koefisien distribusi  atau koefisien partisi (partition coefficient),  K  didefinisikan sebagai perbandingan antara fraksi berat  solute dalam  fase ekstrak,   dibagi dengan  fraksi berat solute dalam fase rafinat,   pada keadaan kesetimbangan.

 

Koefisien distribusi dapat  juga dinyatakan dalam fraksi mol :

 

Dimana x°,y° masing-masing adalah fraksi mol solut dalam fase rafinat dan fase ekstrak (Kasmiyatun, 2008).

Sebagai molekul terdisosiasi dalam ion-ion salah satu dari fase tersebut. Hukum distribusi digunakan hanya untuk yang umum konsentrasinya pada kedua fase, yaitu monomer atau molekul sederhana dari zat tersebut (Martin, 1993).

 

 

 

  1. ALAT DAN BAHAN
    1. Alat
  • Erlenmeyer 250 ml           : 3 gelas
  • Gelas kimia 50 ml            : 4 gelas
  • Gelas kimia 250 ml          : 3 gelas
  • Botol semprot                  : 1 buah
  • Pipet ukur 25 ml               : 1 buah
  • Pipet ukur 10 ml               : 1 buah
  • Filler                                 : 2 buah
  • Pipet tetes                        : 1 buah
  • Water baths                      : 1 buah
  • Spektrofotometer                         : 1 buah
  • Kuvet                               : 2 buah
  • Corong pisah                    : 1 buah
  1. Bahan
  • Larutan dapar 0.01 M dengan pH 3, 4, dan 5
  • Kloroform 10 ml
  • Aquades
  • larutan FeCl3 1%

 

 

 

 

 

  1. PROSEDUR KERJA

 

 

Larutan dapar salisilat 0.01 M

Pada pH 3

 

 

 

 

–          Dimasukkan 20 ml ke dalam erlenmeyer

–          Ditambahkan larutan kloroform 10 ml

–          Diinkubasikan pada water baths dengan suhu 37°C dan sesekali diaduk

–          Dipipet 2 ml fase air dari larutan

–          Diencerkan hingga 50 ml

–          Ditambahkan 2 ml larutan FeCl3 1 % pada 2 ml dari hasil pengenceran

 

Warna Ungu

 

 

 

–          Diukur Absorbansinya pada λ 525 nm

–          Diamati

 

0.255 A

 

 

Larutan dapar salisilat 0.01 M

Pada pH 4

 

 

 

 

–          Dimasukkan ke dalam erlenmeyer 20 ml

–          Ditambahkan larutan kloroform 10 ml

–          Diinkubasikan pada water baths dengan suhu 37°C dan sesekali diaduk

–          Dipipet 2 ml fase air dari larutan

–          Diencerkan hingga 50 ml

–          Ditambahkan 2 ml larutan FeCl3 1 % pada 2 ml dari hasil pengenceran

 

Warna Ungu

 

 

 

–          Diukur Absorbansinya pada λ 525 nm

–          Diamati

 

0.196 A

 

 

 

 

 

Larutan dapar salisilat 0.01 M

Pada pH 5

 

 

 

 

–          Dimasukkan ke dalam erlenmeyer 20 ml

–          Ditambahkan larutan kloroform 10 ml

–          Diinkubasikan pada water baths dengan suhu 37°C dan sesekali diaduk

–          Dipipet 2 ml fase air dari larutan

–          Diencerkan hingga 50 ml

–          Ditambahkan 2 ml larutan FeCl3 1 % pada 2 ml dari hasil pengenceran

 

Warna Ungu

 

 

 

–          Diukur Absorbansinya pada λ 525 nm

–          Diamati

 

0.256 A

 

 

 

 

 

  1. HASIL PENGAMATAN
  2. Absorbansi awal asam salisilat =0,0401
  3. Volume fase air dan fase organik pada pH 3
  • Volume fase cair         = 29 ml
  • Volume fase organik   = 8 ml
  1. Volume fase air dan fase organik pada pH 4
  • Volume fase cair         = 25 ml
  • Volume fase organik   = 8 ml
  1. Volume fase air dan fase organik pada pH 5
  • Volume fase cair         = 26 ml
  • Volume fase organik   = 8 ml

 

  1. Tabel hasil pengamatan
pH Absorpbansi (A)
3 0,255
4 0,196
5 0,256

 

  1. Perhitungan

a)      Absortivitas Molar (Asam Salisilat)

A = e × b × C

Keterangan :

A = absortivitas

e = absortivitas molar

b = tebal kuvet

C = konsentrasi

Sehingga :

A = e × b × C

0,401 = e × 0,1 cm × 0,01 M

e = 401.10-3

10-3

= 401 /M.cm

b)      Larutan dapar salisilat pH 3, 4 dan 5 (Ka = 10-3), jika kadar total asam dan garamnya 0,01M tentukan :

  • Kadar asam salisilat dan natrium salisilat pada tiap pH 3

pH = -log [H+]

log [H+] = – 3

[H+] = 10-3

[H+] = Ka  , jika [asam] = X maka {garam} = 0,01 – X

10-3 = 1,06×10-3

= 1,06×10-3

10-5 – 10-3 x = 1,06 × 10-3

10-5         = 1,06 × 10-3 + 10-3x

10-5        = 2,06 × 10-3x

X  = 0,01

2,06

= 0,004585

= 4,85 × 10-3 M

C2o = 4,85 × 10-3 M

A = e × b × C

0,255 = 401 / Mcm × 0,1 cm × C

C = 0,255 M

40,1

= 6,3 × 10-3 M

C2’ = 6,3 × 10-3 M

  • Koefisien partisi semu (APC) asam salisilat pada pH 3

APC = (C2o – C2’) a

C2’ × b

= (4,85.10-3 M – 6,3.10-3 M) 29 ml

6,3.10-3 M × 8 ml

= -1,45 × 29

6,3 × 8

= -0,834

  • Kadar asam salisilat dan natrium salisilat pada tiap pH 4

pH = -log [H+]

log [H+] = – 3

[H+] = 10-3

[H+] = Ka  , jika [asam] = X maka {garam} = 0,01 – X

10-3 = 1,06×10-3

= 1,06×10-3

10-6 – 10-4 x = 1,06 × 10-3x

10-6         = 1,06 × 10-3 + 0,1 × 10-3x

10-6        = 1,16 × 10-3x

X  = 0,001

1,16

= 0,000862

= 8,62 × 10-4 M

C2o = 8,62 × 10-4 M

A = e × b × C

0,196 = 401 / Mcm × 0,1 cm × C

C = 0,196 M

40,1

= 48 × 10-4 M

C2’ = 4,8 × 10-3 M

  • Koefisien partisi semu (APC) asam salisilat pada pH 4

APC = (C2o – C2’) a

C2’ × b

= (0,862.10-3 M – 4,8.10-3 M) 25 ml

6,3.10-3 M × 8 ml

= -3,938 × 25

4,8 × 8

= -2,563

  • Kadar asam salisilat dan natrium salisilat pada tiap pH 5

pH = -log [H+]

log [H+] = – 3

[H+] = 10-3

[H+] = Ka  , jika [asam] = X maka {garam} = 0,01 – X

105 = 1,06×10-3

= 1,06×10-3

10-7 – 10-5 x = 1,06 × 10-3x

10-7         = 1,06 × 10-3 + 0,01 × 10-3x

10-7        = 1,07 × 10-3x

X  = 10-4

1,07

= 0,0000934

= 9,34 × 10-5 M

C2o = 9,34 × 10-5 M

= 0,0934 × 10-3 M

A = e × b × C

0,256 = 401 / Mcm × 0,1 cm × C

C = 0,256 M

40,1

= 6,3 × 10-3 M

C2’ = 6,3 × 10-3 M

  • Koefisien partisi semu (APC) asam salisilat pada pH 5

APC = (C2o – C2’) a

C2’ × b

= (0,0934.10-3 M – 6,3.10-3 M) 26 ml

6,3.10-3 M × 8 ml

= -6,2066 ×26

6,3 × 8

= -3,078

c)      Kurva pH vs Absorbansi

 

 

d)     Kurva pH vs Koefisien partisi semu

 

 

 

  1. PEMBAHASAN

Koefisien partisi merupakan suatu perbandingan kelarutan suatu zat (sampel) di dalam dua pelarut yang berbeda dan tidak saling bercampur, serta merupakan suatu harga tetap pada suhu tertentu. Fenomena distribusi adalah suatu fenomena dimana distribusi suatu senyawa antara dua fase cair yang tidak saling bercampur, tergantung pada interaksi fisik dan kimia antara pelarut dan senyawa terlarut dalam dua fase yaitu struktur molekul. Berdasarkan hukum Nernst, jika suatu larutan (dalam air) mengandung zat organik A dibiarkan bersentuhan dengan pelarut organik yang tidak bercampur dengan air, maka zat A akan terdistribusi baik ke dalam lapisan air (fasa air) dan lapisan organik (fasa organik). Dimana pada saat kesetimbangan terjadi, perbandingan konsentrasi zat terlarut A di dalam kedua fasa itu dinyatakan sebagai nilai Kd atau koefisien distribusi (partisi) dengan perbandingan konsentrasi zat terlarut A di dalam kedua fasa organik-air tersebut adalah pada temperatur tetap.

Pada percobaan kali ini, kita menggunakan senyawa organik yaitu asam salisilat. Hal ini dikarenakan asam salisilat merupakan senyawa yang mudah larut dalam pelarut organik daripada larut dalam air, sehingga senyawa tersebut mudah dipisahkan dari campurannya yang mengandung air atau larutannya. Metode penentuan koefisien distribusi asam salisilat dilakukan dengan penentuan konsentrasi asam salisilat baik yang ada dalam fasa air maupun fasa organik. Pada penentuan partisi harus dilakukan dengan air dan pelarut organik dalam jumlah yang sama. Pelarut yang kita gunakan yaitu kloroform dan air. Pelarut kloroform dan air tidak dapat saling campur, tetapi kedua pelarut ni dapat melarutkan sampel. Hal ini disebabkan air merupakan pelarut yang bersifat polar, artinya H2O memiliki keelektronegatifan yang besar dan kemampuannya yang besar untuk membentuk awan elektron sehingga mengimbas menjadi polar.  Sedangkan kloroform merupakan pelarut organik dan termasuk dalam pelarut non polar, dikarenakan didalamnya terdapat atom C yang akan menyebabkan ikatan menjadi simetris. Ikatan yang simetris tersebut akan menyebabkan momen dipol yang kecil. Sementara kepolaran suatu senyawa sangat tergantung pada besar kecilnya momen dipol.

Larutan yang akan dipisahkan fase air dan fase organiknya dipanaskan didalam inkubator yang berupa water bash. Pada proses pemisahan antara dua fase tersebut disertai dengan pengadukan. Hal ini dilakukan agar larutan mengalami pemanasan yang merata dan agar larutan tidak mengalami jumping di dalam water baths. Pada proses pengukuran absorbansi menggunakan alat spektrofotometer. Spektrofotometer hanya dapat membaca zat yang memiliki warna. Sehingga diperlukan zat FeCl3. Hal ini dikarenakan pemberian FeCl3 menghasilkan warna saat mencapai kesetimbangan atau titik ekivalen. Pemberian FeCl3 dihentikan pada saat larutan berwarna ungu. Serapan atau absorbansi pada masing – masing pH tersebut terbaca pada spektrofotometer pada panjang gelombang 525 nm. Nilai absorbansi yang kita peroleh pada pH 3 yaitu 0,255 A, pada pH 4 yaitu 0,196 A, dan pada pH 5 yaitu 0,256 A. Absorbansi berbanding lurus dengan konsentrasi. Makin tinggi konsentrasi nya maka makin tinggi pula absorbansinya.

Berdasarkan hasil percobaan yang kita lakukan, kita memperoleh nilai konsentrasi asam salisilat dan natrium salisilat disetiap pH. Konsentrasi (kadar) asam salislat pada pH = 3, pH = 4 dan pH = 5 ialah berturut – turut yaitu 6,3 × 10-3 M, 8,62 × 10-4 M, 9,34 × 10-5 M. Dari hasil yang diperoleh dari nilai konsentrasi asam salisilat, maka dapat dihitung pula kadar garam natrium salisilat. Dari kurva perbandingan pH dan natrium salisilat terlihat bahwa semakin rendah pH suatu sampel maka semakin rendah konsentrasi natrium salisilatnya.

Koefisien distribusi suatu senyawa dalam dua larutan yang tidak bercampur harus sama dengan 1. Hal ini bahwa senyawa tersebut terdistribusi secara merata pada dua fase yaitu fase minyak dan fase air. Jika nilai koefisien distribusi kecil dari 1 maka senyawa tersebut cenderung untuk terdistribusi dalam fase air dari pada fase minyaknya. Semakin kecil koefisien distribusi (Kd) yang dihasilkan semakin kecil akan diperoleh massa zat sisa terlarut pada pelarut air yang lebih besar.

Dalam percobaan ini terjadi suatu keadaan sampel yang digunakan yaitu asam salisilat mempunyai kecenderungan untuk menuju ke salah satu fase yaitu fasa air. Dimana kita ketahui bersama bahwa air merupakan pelarut yang polar dan pelarut yang ideal untuk senyawa-senyawa tertentu (kecuali yang tidak dapat larut dalam pelarut air tapi larut dalam pelarut organik lainnya).

 

 

 

 

  1. KESIMPULAN
  • Konsentrasi asam salisilat pada pH = 3, pH = 4 dan pH = 5 berturut – turut yaitu 6,3 × 10-3 M, 8,62 × 10-4 M, dan 9,34 × 10-5 M.
  • Nilai absorbansi pada pH = 3 yaitu 0,255 A, pada pH = 4 yaitu 0,196 A, dan pada pH = 5 yaitu 0,256 A
  • Semakin tinggi pH suatu sampel, maka makin kecil konsentrasi (kadar) natrium salisilatnya.

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Cammarata, s., 1995, Farmasi FisIka, UI-Press, Jakarta.

 

Hendrawan, Kajian Tentang Kinetika Transfer Asam Asetat Pada Antarmuka Cair-Cair Dengan Menggunakan Rotating Membrane Cell, 2002, Jurnal Matematika dan Sains, 2(7):71-76.

 

Kasmiyatun M. dan Jos B., EKSTRAKSI ASAM SITRAT DAN ASAM OKSALAT PENGARUH TRIOCTYLAMINE SEBAGAI EXTRACTING POWER BERBAGAI SOLVEN CAMPURAN TERHADAP KOEFISIEN DISTRIBUSI, 2008, J. Reaktor,  2(12):107-116.

 

Martin, Alfred, 1993, Farmasi Fisik jilid I Edisi III, UI-Press: Jakarta.

 

Martin, Alfred, 1993, Farmasi Fisik jilid II Edisi III, UI-Press: Jakarta.

 

Rivai, H., 1995, Azas Pemeriksaan Kimia, UI-Press, Jakarta.

 

PERCOBAAN II KELARUTAN SEMU/TOTAL (APPARENT SOLUBILITY)

PRAKTIKUM FARMASI FISIK 1

PERCOBAAN II

KELARUTAN SEMU/TOTAL (APPARENT SOLUBILITY)

OLEH

                                    NAMA                : MEI KURNIAWATI

                                    NIM                    : F1F111054

                                    KELAS               : A

                                    KELOMPOK    : II

                                    ASISTEN           : DIAN PERMANA, S. Si

 

JURUSAN FARMASI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS HALUOLEO

KENDARI

2012

PERCOBAAN II

KELARUTAN SEMU/TOTAL (APPARENT SOLUBILITY)

A.    Tujuan

Mengetahui pengaruh pH larutan terhadap kelarutan bahan obat yang bersifat asam lemah.

B.     Landasan Teori

Kelarutan didefinisikan dalam besaran kuantatif sebagai konsentrasi zat terlarut dalam larutan jenuh pada temperatur tertentu, dan secara kualitatif didefinisikan sebagai interaksi spontan dari dua atau lebih zat untuk membentuk dispersi molekuler homogen (Martin, 1990).

Kelarutan obat dapat dinyatakan dlam beberapa cara. Menurut U.S. pharmacopeia dan National Formulary, defenisi kelarutan obat adalah jumlah ml pelarut dimana akan larut 1 gram zat terlarut. Sebagai contoh, kelarutan asam borat dalam U.S. Pharmacopeia dikatakan sebagai: 1 gram asam borat larut dalam 18 ml air, dalam 18 ml alkohol, dan dalam 4 ml gliserin. Kelarutan secara kuantitatif dinyatakan dalam molalita, molarita, dan persentase (Martin, 1990).

Pernyataan kelarutan zat dalam bagian tertentu pelarut adalah kelarutan pada suhu 20o dan kecuali dinyatakan lain menunujukkan bahwa 1 bagian bobot zat padat atau 1 bagian volume zat cair larut dalam bagian volume zat cair dalam bagian volume tertentu pelarut. Pernyataan kelarutan yang tidak disertai angka adalah kelarutan pada suhu kamar. Kecuali dinyatakan lain, zat jika dilarutkan boleh menunjukkan sedikit kotoran mekanik seperti bagian kertas saring, serat dan butiran debu (Anonim, 1979).

Kelarutan suatu zat dalam pelarut tertentu dapat diketahui dengan membuat larutan jenuh dari zat itu pada suhu yang spesifik dan penentuan jumlah zat yang larut dalam sejumlah berat tertentu dari larutan dengan cara analisis kimi. Dengan perhitungan sederhana, dapat ditentukan jumlah pelarut yang dibutuhkan untuk melarutkan sejumlah zat terlarut. Kemudian, kelarutan dapatdinyatakan sebagai jumlah gram zat terlarut dalam sejumlah ml pelarut (Ansel, 2005).

Asam dan Basa

Ada 3 pengertian mengenai apa yang disebut asam dan apa yang disebut basa.

  1. Menurut Arrhenius, asam adalah senyawa yang jika dilarutkan dalam air akan terurai menjadi ion hidrogen (H+) dan anion, sedangkan basa adalah senyawa yang jika dilarutkan dalam air akan menghasilkan ion hidroksida (OH) dan kation. Teori Arrhenius hanya berlaku untuk senyawa anorganik dalam pelarut air.
  2. Untuk dapat berlaku dalam segala pelarut, maka Bronsted pada tahun 1923 memberikan batasan yaitu: asam adalah senyawa yang cenderung melepas proton, sedangkan basa adalah senyawa yang cenderung menangkap proton.

A                H+ + B

Asam                 Proton + Basa Konjugatnya

  1. Batasan lain diberikan oleh lewis pada tahun 1938 yang menyatakan bahwa asam adalah akseptor (penerima) pasangan elektron, sedangkan basa adalah donor (pemberi) pasangan elektron. Dengan batasan ini maka konsep mengenai asam-basa berubah sama sekali yaitu: senyawa asam itu tidak hanya mengandung hidrogen. Menurut Lewis reaksi berikut adalah reaksi asam-basa:

NH3 + BF3                    H3N:BF3

Asam   basa

(Sudjadi, 2007).

Asam HA mengambil bagian dalam kesetimbangan dalam air berikut ini:

HA(aq) + H2O(l) D A(aq) + H3O+                                   K=

Ion H3O+ proton terhidrasi disebut ion  hidornium (Kartohadiprojo, 1989).

            Untuk basa dalam air, kesetimbangan khasnya adalah :

B(aq) + H2O(l) D BH+(aq) + HO                        K=

Donor proton terbentuk jika basa menerima sebuah proton dan menjadi BH+ yang disebut asam konjugat dari basa B (Kartohadiprojo, 1989).

Banyak obat-obat penting termasuk dalam kelompok asam lemah dan basa lemah. Obat-obat ini bereaksi dengan asam dan basa kuat serta dalam jarak pH tertentu berada sebagai ion yang biasanya larut dalam air (Martin, 1990).

Elektrolit lemah umumnya tidak sangat larut dalam air tetapi larut dalam larutan asam encer; seperti senyawa atropin sulfat dan tetrakain hidroklorida dibentuk dengan mereaksikan senyawa basa dengan asam. Penambahan basa ke dalam larutan garam senyawa ini mengendapkan basa bebas dari larutan apabila kelarutan basa dalam air rendah (Martin, 1990).

Dari apa yang telah dikatakan tentang pengaruh asam dan basa pada larutan elektrolit lemah, bahwa kelarutan elektrolit lemah sangat dipegaruhi oleh pH larutan. Untuk menjamin larutan homogen yang jernih dan keefektifan terapi yang maksimum, pembuatan harus disesuaikan pada pH optimum. Pada pH di bawah garam dari asam lemah, fenobarbital natrium misalnya, mulai mengendap dari larutan air, dengan cepat dihitung dengan cara menamakan bentuk asam bebas dari fenobarbital sebagai HP dan bentuk terionisasi yang larut sebagai P, kesetimbangan dalam larutan jenuh dari elektrolit lemah yang sukar larut adalah

HPpadat  D  HP larut

HP larut  + H2O  D  H3O+  + P

Karena konsentrasi bentuk tidak terionisasi dalam larutan HP larut biasanya konstan, tetapan kesetimbangan larutan, persamaan HPpadat  D  HP larut adalah:

S=   [HP]larut

dan tetapan untuk kesetimbangan asam-basa, persamaan adalah:

Ka =

Atau

[P] = Ka

dimana notasi ‘larut’ (sol) telah dicoret dari [HP]larut karena tidak akan ada terjadi kekeliruan apabila notasi ini dihilangkan (Martin, 1990).

Kelarutan total (S) fenobarbital terdiri dari konsentrasi asam tidak terdisosiasi (HP) dan basa konjugatnya atau bentuk terionisasi (P).

S = [HP] + [P]

Subtitusi So untuk (HP) dari persamaan S=   [HP]larut dan pernyataan (P) dari persamaan [P] = Ka  menghasilkan:

S = So + Ka

S = So

            Jika elektorlit lemah dan tidak terdisosiasi secara jelas, kelarutan asam dalam air atau larutan asam adalah So = [HP], dimana untuk fenobarbital kira-kira 0,005 mol/liter yaitu 0,12%. Persamaan kelarutan dapat ditulis dalam bentuk logaritma, dimulai dengan persamaan S = So + Ka . Dengan menyusun kembali, kita peroleh:

(S – So) = Ka

log (S – So) = log Ka + log So – log [H3O+]

dan akhirnya

pHP = pKa + log

dimana di bawah pHp ini obat akan terpisah dari larutan sebagai asam tidak terdisosiasi (Martin, 1990).

 


C.    Alat dan Bahan

  • Alat :

–        Corong

–        Tabung erlemenyer 5 buah

–        Timbangan

–        Oven

–        Pipet ukur 10 ml

–        Filler

–        Gelas kimia

–        Kertas saring 5 lembar

  • Bahan :

–        Asam benzoate

–        Larutan dapar fosfat pH 5,8

–        Larutan dapar fosfat pH 6,0

–        Larutan dapar fosfat pH 6,2

–        Larutan dapar fosfat pH 6,6

–        Larutan dapar fosfat pH 6,8


 

D.    Prosedur Kerja

Dapar pH 5,8

Dapar pH 6,2

Dapar pH 6,6

Dapar pH 6,8

Dapar pH 6,0

 

 

–        Dipipet 10 ml

–        Dimasukkan dalam erlemenyer

–        Ditambahkan 0,2 g asam benzoate

–        Dikocok 20 menit

–        Disaring

Filtrat

Residu

–        Dikeringkan

–        Ditimbang

–        Dihitung kelarutan semunya

pH 5,8 = 0,19 g

pH 6,0 = 0,16 g

pH 6,2 = 0,34 g

pH 6,6 = 0,21 g

pH 6,8 = 0,15 g

E.     Hasil Pengamatan

1)      Tabel Hasil Pengamatan

NO

pH

Berat kertas saring (gr)

Asam Benzoat tidak larut (gr)

(berat kertas saring akhir – awal)

Awal

Akhir

1

5,8

1,09

1,28

0,19

2

6,0

1,07

1,23

0,16

3

6,2

1,11

1,45

0,34

4

6,6

1,09

1,30

0,21

5

6,8

1,08

1,23

0,15

2)      Analisis Data

a)      Massa asam benzoate yang larut

  • Untuk pH 5,8

Massa asam benzoate = 0,2 gr – 0,19 gr

= 0,01 gr

b)      Menghitung konsentrasi kelarutan intrinsic (So)

  • Untuk pH 5,8

So =

=

= 0,0081 M

c)      Menghitung konsentrasi kelarutan semu (S)

= pH – pKa

= inv log (pH – pKa)

[ S – So] = inv log (pH – pKa) x [So]

[S]          = inv log (5,8 – 4,19) x [So] + [So]

= inv log (5,8 – 4,19) x (0,0081) + (0,0081)

= 0,338

3)      Table Berdasarkan Hasil Perhitungan Data Pengamatan

No

pH

A

B

C

D

E

F

1

5,8

1,09

0,2

1,1

0,19

0,0081

0,338

2

6,0

1,07

0,2

1,11

0,16

0,0032

2,143

3

6,2

1,11

0,2

0,97

0,34

-0,1147

-11,851

4

6,6

1,09

0,2

1,08

0,21

-0,0081

-2,114

5

6,8

1,08

0,2

1.13

0,15

0,077

16,702

Keterangan :

A = massa kertas saring

B =  massa asam benzoate

C = massa kertas saring + massa asam benzoate (A + B)

D = massa asam benzoate yang tidak larut

E = kelarutan intrinsic (So)

F = kelarutan semu (S)

  1. Grafik Kelarutan Semu terhadap pH Larutan

 

F.     Pembahasan

Kelarutan didefinisikan dalam besaran kuantitatif sebagai konsentrasi zat terlarut dalam larutan jenuh pada temperatur tertentu, dan secara kualitatif  sebagai interaksi spontan dari dua atau lebih zat untuk membentu dispersi molekuler homogen.

Pada percobaan kali ini kelarutan dari suatu zat dalam pelarut tertentu diketahui dengan cara membuat larutan jenuh dari zat tersebut dan penentuan jumlah zat yang larut dalam sejumlah berat tertentu dari larutan dengan cara analisis kimia. Dengan perhitungan sederhana, dapat ditentukan jumlah pelarut yang dibutuhkan untuk melarutkan sejumlah zat terlarut. Kemudian, kelarutan dapat dinyatakan sebagai jumlah gram zat terlarut yang larut dalam sejumlah ml pelarut.

Percobaan kali ini kita menggunakan larutan fosfat yang telah di dapar terlebih dengan berbagai pH terlebih dahulu. pH larutan yang digunakan, yaitu 5,8; 6,0; 6,2; 6,6; dan 6,8.  Penggunaan larutan dapar ini  dikarenakan larutan dapar ini kurang polar dari air.

Pada penentuannya, kita menghomogenkan larutan selama 20 menit dan diperoleh larutan yang jenuh (larutan yang jumlah zat telah terlarut maksimum, sehingga tidak dapat melarutkan zat terlarut lagi). Hal ini ditandai dengan larutan yang jernih dan endapan. Larutan tersebut disaring dengan menggunakan kertas saring yang telah ditimbang terlebih dahulu. Tujuan dari penyaringan ini adalah untuk memisahkan antara larutan sampel dan residunya. Residu ini kemudian diovenkan dengan tujuan unutuk megeringkan sampel karena  dikhawatirkan berat kandungan airnya akan berpengaruh terhadap nilai kelarutannya.

Setelah kering sampel ditimbang (beserta kertas). Dimana diperoleh hasil berat asam benzoat I adalah 1,28 gram, asam benzoat II adalah 1,23 gram, asam benzoat III adalah 1,45 gram, asam benzoat IV adalah 1,30 gram, dan asam benzoat V adalah 1,23 gram. Setelah dihitung maka diperoleh berat residu (setelah dikurangi dengan kertas saring yang kosong) untuk asam benzoat I adalah 0,19 gram, asam benzoat II adalah 0,16 gram, asam benzoat III adalah 0,34 gram, asam benzoat IV adalah 0,21 gram, dan asam benzoat V adalah 0,15 gram. Dari berat residu ini maka dapat dihitung berat zat yang larut dalam 10 ml larutan dapar fosfat, yaitu asam benzoat I adalah 0,01 gram, asam benzoat II adalah 0,04 gram, asam benzoat III adalah -0,14 gram, asam benzoat IV adalah -0,01 gram, dan asam benzoat V adalah 0,05 gram. Dari hasil tersebut dapat diketahui kelarutan dari zat tersebut, yaitu asam benzoat I adalah 0,0081, asam benzoat II adalah 0,0032, asam benzoat III adalah -0,1147, asam benzoat IV adalah -0,0081, dan asam benzoat V adalah 0,0770. Serta diperoleh juga kelarutan semu dari asam benzoat dalam larutan dapar, yaitu asam benzoat I adalah 0,338, asam benzoat II adalah 2,143, asam benzoat III adalah -11,851, asam benzoat IV adalah -2,114, dan asam benzoat V adalah 16,702.

Kelarutan suatu zat dipengaruhi oleh pH dari pelarut. Semakin tinggi pH pelarut maka semakin tinggi tingkat kelarutan suatu zat. Tapi pada percobaan kali ini telah terjadi kesalahan karena hasil yang diperoleh tidak sesuai dengan asumsi di atas.

Faktor-faktor yang kemungkinan menjadi penyebab kesalahan pada proses praktikum antara lain :

–        Kesalahan dalam waktu menghomogenkan sampel dalam erlemenyer, dimana tidak semua sampel dihomogenkan pada waktu yang sama (20 menit) sehingga ada sampel yang tidak larut semestinya

–        Kesalahan dalam mengeringkan, sehingga dalam sampel masih terdapat kandungan air

–        Kesalahan dalam penimbangan

–        Kesalahan dalam pembuatan dan penyimpanan reagen sehingga kemungkinan terjadi perubahan pH pada larutan dapar.

Aplikasi kelarutan dalam bidang farmasi antara lain digunakan dalam pembuatan larutan farmasetika, dapat membantu dalam menentukan pelarut yang tepat untuk sediaan obat, serta dapat digunakan untuk uji kemurnian.


 

G.    Kesimpulan

Dari hasil percobaan maka dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi pH suatu larutan maka semakin tinggi pula tingkat kelarutan suatu senyawa.

D A F T A R  P U S T A K A

Ansel, Howard. 2005. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, Edisi Kempat. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Dirjen POM. 1979. Farmakope Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Fatah, A.Mustofa. 1984. Kimia Farmasi dan Medisinal Organik. Semarang : IKIP Semarang Press.

Kartohadiprojo, Irma I. 1989. Kimia Fisika Jilid 1. Jakarta : Erlangga.

Martin, Alfred, dkk. 1990. Farmasi Fisik Jilid 1, Edidi Ketiga. Jakarta : UI Press.

Sudjadi. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

PERCOBAAN 1 KELARUTAN INTRINSIK OBAT

PRAKTIKUM FARMASI FISIK 1
PERCOBAAN 1
KELARUTAN INTRINSIK OBAT


OLEH
NAMA : MEI KURNIAWATI
NIM : F1F111054
KELAS : A
KELOMPOK : II
ASISTEN : DIAN PERMANA, S.Si

JURUSAN FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2012

PERCOBAAN I
KELARUTAN INTRINSIK OBAT

A. Tujuan
Memperkenalkan konsep dan proses pendukung system kelarutan obat dan menentukan parameter kelarutan obat.
B. Landasan Teori
Kelarutan suatu zat terlarut adalah jumlah maksimum dari zat terlarut yang dapat dilarutkan dalam sejumlah tertentu pelarut atau sejumlah larutan pada temperature tertentu. Senyawa yang terlarut disebut solut dan cairan yang melarutkan disebut solven, yang bersama-sama membentuk suatu larutan. Proses pelarutan disebut solvasi atau hidrasi jika pelarutnya air. Suatu larutan saat kesetimbangan tidak dapat menahan solut lagi dan disebut jenuh. Larutan dalam keadaan tertentu dapat menahan lebih banyak solut lebih dari keadaan normal solven. Ini disebut lewat jenuh. (Jones, L. 2005).
Kelarutan merupakan salah satu sifat fisikokimia yang penting untuk diperhatikan pada tahap preformulasi sebelum memformula bahan obat menjadi sediaan. Beberapa metode dapat digunakan untuk meningkatkan kelarutan obat, antara lain: melalui pembentukan garam, perubahan struktur internal kristal (polimorfi) atau penambahan suatu bahan penolong, misalnya bahan pengompleks, surfaktan dan kosolven (Yalkowsky, 1981).
Kelarutan suatu zat sangat dipengaruhi oleh polaritas pelarut. Pelarut polar akan melarutkan lebih baik zat-zat polar dan ionik, begitu pula sebaliknya. Kelarutan juga bergantung pada struktur zat, seperti perbandingan gugus polar dan non polar dari suatu molekul. Makin panjang rantai gugus non polar suatu zat, makin sukar zat tersebut larut dalam air. Menurut Hilderbrane : kemampuan zat terlarut untuk membentuk ikatan hidrogen lebih pentig dari pada kemolaran suatu zat (Sukmawati, 2005).
Pada perendaman menggunakan larutan NaOH, menunjukkan bahwa dengan semakin meningkatnya konsentrasi NaOH dan waktu proses perendaman maka dapat menaikkan kelarutan aluminium. Hal ini menunjukkan semakin banyak logam aluminium yang terkikis berarti semakin banyak nuklidanuklida yang menempel di logam yang terlepas. kelarutan aluminium meningkat, jikawaktu perendaman yang digunakan terlalu lama maka proses dekontaminasi menjaditidak efektif. ( Mirawati, 2006 )
Elektrolit lemah dan molekul-molekul nonpolar seringkali mempunyai kelarutan dalam air yang buruk. Kelarutannya biasanya dapat ditingkatkan dengan penambahan suatu pelarut yang dapat bercampur dengan air dimana dalam pelarut tersebut obat mempunyai kelarutan yang baik. Proses ini dikenal sebagai kosolvensi, dan pelarut-pelarut yang digunakan dalam kombinasi untuk meningkatkan kelarutan zat terlarut dikenal sebagai kosolven. Mekanisme yang mengakibatkan penambahan kelarutan melalui kosolvensi tidak dimengerti dengan jelas. Etanol, sorbitol, propilen glikol, dan beberapa anggota dari seri polimer polietilen glikol memperlihatkan jumlah terbatas dari kosolven yang berguna, dan dapat diterima secara umum dalam formulasi cairan-cairan dalam air. Kosolven tidak hanya digunakan untuk mempengaruhi kelarutan obat tersebut, tetapi juga untuk memperbaiki kelarutan dari konstituen-konstituen yang mudah menguap yang digunakan untuk memberi rasa dan bau yang diinginkan ke produk tersebut. Molekul-molekul dalam obat padat diikat bersama oleh gaya intermolekular tertentu misalnya gaya dipol-dipol imbas, dipol-dipol dan interaksi ion-ion, demikian pula halnya dengan solven. pelarut dibedakan atas polar, semi polar, atau non polar tergantung dari besarnya ikatan yang bersangkutan. (Alfred, 1990)
Kelarutan obat sebagian besar disebabkan oleh polaritas dari pelarut, yaitu oleh dipol momennya. Sesuai dengan hal itu, air bercampur dengan alkohol dalam segala perbandingan & melarutkan gula dan senyawa polihidrasi yang lain. selain itu pelarut biasanya memiliki beda titik didih(∆Tb) rendah dan lebih mudah menguap meninggalkan substansi terlarut. Dan yang jelas pelarut jumlahnya lebih besar daripada zat terlarut. ( James, 1990 ).
C. Alat dan Bahan
• Alat :
 Tabung reaksi 7 buah
 Erlenmeyer 250 ml 7 buah
 Timbangan
 Corong
 Buret 50 ml
 Statif dan klem
 Pipet tetes
 Pipet ukur 10 ml
 Filler
• Bahan :
 Asam salisilat
 Ethanol 95%
 Indicator fenoftalin
 Larutan NaOH 0,1 N
 Aquades
 Kertas saring
D. Prosedur Kerja
a. Tabung 1

 Dimasukkan dalam tabung reaksi
 Ditambahkan asam salisilat 0,5 gr
 Ditambahkan dengan 4 ml propyleneglycol
 Dikocok selama 30 menit
 Disaring

 Ditambahkan dengan beberapa tetes indicator fenolftalin
 Dititrasi dengan menggunakan NaOH 0,1 N
 Diamati perubahan yang terjadi

 Dimasukkan dalam tabung reaksi
 Ditambahkan 0,5 ml etanol
 Ditambahkan asam salisilat 0,5 gr
 Ditambahkan dengan 3,5 ml propyleneglycol
 Dikocok selama 30 menit
 Disaring

 Ditambahkan dengan beberapa tetes indicator fenolftalin
 Dititrasi dengan menggunakan NaOH 0,1 N
 Diamati perubahan yang terjadi

 Dimasukkan dalam tabung reaksi
 Ditambahkan 1 ml ethanol
 Ditambahkan asam salisilat 0,5 gr
 Ditambahkan dengan 3 ml propyleneglycol
 Dikocok selama 30 menit
 Disaring

 Ditambahkan dengan beberapa tetes indicator fenolftalin
 Dititrasi dengan menggunakan NaOH 0,1 N
 Diamati perubahan yang terjadi

 Dimasukkan dalam tabung reaksi
 Ditambahkan 1,5 ml ethanol
 Ditambahkan asam salisilat 0,5 gr
 Ditambahkan dengan 1,5 ml propyleneglycol
 Dikocok selama 30 menit
 Disaring

 Ditambahkan dengan beberapa tetes indicator fenolftalin
 Dititrasi dengan menggunakan NaOH 0,1 N
 Diamati perubahan yang terjadi

 Dimasukkan dalam tabung reaksi
 Ditambahkan 3 ml ethanol
 Ditambahkan asam salisilat 0,5 gr
 Ditambahkan dengan1 ml propyleneglycol
 Dikocok selama 30 menit
 Disaring

 Ditambahkan dengan beberapa tetes indicator fenolftalin
 Dititrasi dengan menggunakan NaOH 0,1 N
 Diamati perubahan yang terjadi

 Dimasukkan dalam tabung reaksi
 Ditambahkan 3,5 ml ethanol
 Ditambahkan asam salisilat 0,5 gr
 Ditambahkan dengan 0,5 ml propyleneglycol
 Dikocok selama 30 menit
 Disaring

 Ditambahkan dengan beberapa tetes indicator fenolftalin
 Dititrasi dengan menggunakan NaOH 0,1 N
 Diamati perubahan yang terjadi

 Dimasukkan dalam tabung reaksi
 Ditambahkan 4 ml ethanol
 Ditambahkan asam salisilat 0,5 gr
 Dikocok selama 30 menit
 Disaring

 Ditambahkan dengan beberapa tetes indicator fenolftalin
 Dititrasi dengan menggunakan NaOH 0,1 N
 Diamati perubahan yang terjadi
E. Hasil Pengamatan

e. Kurva

F. Pembahasan
Kelarutan adalah kadar solut dalam sejumlah solven pada suhu tertentu yang menunjukan bahwa interaksi spontan satu atau lebih solut atau solven telah terjadi dan membentuk dispersi molekuler yang homogen. Kelarutan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu pH, temperatur(suhu), jenis pelarut, bentuk dan ukuran partikel zat, konstanta dielektrik pelarut dan adanya zat-zat lain, misalnya surfaktan pembentuk kompleks, ion sejenis.
Pada percobaan ini digunakan beberapa larutan sebagai sampel diantaranya, Aquades, Etanol, Propylenglycol, Natrium hidroksida (NaOH) dan fenolptalein sebagai indikator. Seringkali zat terlarut lebih larut dalam campuran pelarut dari pada dalam satu pelarut saja. Gejala ini dikenal dengan melarut bersama (cosolvency). Metode yang digunakan adalah metode titrasi asam basa, yaitu suatu metode yang digunakan untuk menentukan konsentrasi suatu larutan yang belum diketahui konsentrasinya dengan menggunakan larutan standar yang telah diketahui konsentrasinya, oleh karena itu pada percobaan digunakan larutan NaOH yang telah diketahui konsentrasinya yaitu 0,1 N.
Percobaan dilakukan dengan menggunakan 7 tabung yang berbeda. Etanol dan Propylenglycol dimasukkan secara terpisah kedalam masing-masing tabung yang telah berisi 6 ml aquades berdasarkan volume yang telah ditentukan, yaitu etanol pada tabung 2 = 0,5 ml, tabung 3 = 1 ml, tabung 4 = 1,5ml, tabung 5 = 3ml, tabung 6 = 3,5ml dan tabung 7 = 4 ml. Sedangkan volume Propylenglycol pada masing-masing tabung yaitu : tabung 1 = 4 ml, tabung 2 = 3,5 ml, tabung 3 = 3 ml, tabung 4 = 1,5 ml, tabung 5 = 1ml, dan tabung 6 = 0,5 ml. Kemudian masing-masing ditambahkan ditambahkan 2,5 gr Asam Salisilat kemudian dikocok selama 30 menit. Maksud dari penggocokkan adalah unutk membuat larutan ini homogeny antara ethanol, propylenglikol dan asam salisilat pada masing tabung. Setelah proses penggocokkan selesai larutan disaring untuk memisahkan antara fitrat dan residu dari larutan tersebut. Setelah itu filtrat diambil untuk dititrasi sedangkan residu dari larutan tidak digunakan. Filtrat tersebut ditambahkan beberapa tetes Indikator dan dititrasi dengan larutan NaOH. Masing-masing tabung memiliki volume titrasi yang berbeda, tabung 1 = 8,1 ml, tabung 2 = 8 ml, tabung 3 = 7 ml, tabung 4 = 4,8 ml, tabung 5 = 7,2 ml, tabung 6 = 8,3 ml, dan tabung 7 = 8,8 ml.
Setelah diketahui volume titrasinya, ditentukan kadar asam salisilat pada masing – masing tabung. Diperoleh kadar asam salisilat yang paling besar yaitu pada tabung 7 yaitu 0,352 M karena hal ini dipengaruhi volume dari NaOH yang lebih besar, dan yang paling sedikit yaitu pada tabung 4 yaitu 0,192 M, dari sini dapat dikatakan bahwa besarnya kadar asam salisilat ditentukan pula dengan volume NaOH, semakin besar volumenya maka semakin besar pula kadar asam salisilatnya begitupun sebaliknya.
Kemudian ditentukan pula konstanta dielektrik air dalam pelarut campur, yaitu dengan mengalikan jumlah dan persen volume air yaitu : 48,24. Dengan cara yang sama ditentukan kostanta dialetrik pada ethanol yaitu pada tabung 1 = 0; tabung 2 = 1,285; tabung 3 = 2,57; tabung 4 = 3,855; tabung 5 = 7,71; tabung 6 = 8,995 dan tabung 7 = 10,28, sedangkan konstanta dielektrik pelarut campur pada Porpilenglikol yaitu pada tabung 1 = 20; tabung 2 = 17,5; tabung 3 = 15; tabung 4 = 12,5; tabung 5 = 5; tabung 6 = 2,5; tabung 7 = 0. Dari semua kostanta dielektrik antara air, ethanol, dan propylenglikol didapatkan konstanta dielektrik dari pelarut campur (air + ethanol + propylenglikol), yaitu pada tabung 1 = 68,24; tabung 2 = 67,025; tabung 3 = 65,81; tabung 4 = 64,595; tabung 5 = 60,95; tabung 6 = 59,735; tabung 7 = 58,52.
Gugus polar dari asam salisilat adalah gugus -OH dan gugus nonpolar pada asam salisilat adalah gugus cincin benzen. Struktur tersebut menyebabkan asam salisilat dapat larut pada sebagian pelarut polar dan sebagian pada pelarut non polar. Namun, karena memiliki gugus polar dan non polar sekaligus dalam satu gugus, asam salislat sukar larut dengan sempurna pada pelarut polar saja atau pelarut non polar saja. Asam salisilat sukar larut pada air yang merupakan pelarut non polar, tetapi mudah larut pada etanol yang merupakan pelarut semi polar.
Berdasarkan teori terjadi perbedaan dengan hasil percobaan yang telah dilakukan. Hal ini kemungkinan dikarenakan, pengocokan terhadap larutan tidak merata dan kurang hati-hati serta kecepatan tirasi larutan NaOH yang berlebihan sehingga volumenya besar dan menghasilkan warna yang lebih terang.
Dari hasil percobaan, dapat diketahui bahwa semakin kecil volume NaOH maka jumlah kadar asam salisilatnya akan semakin besar. Sebaliknya, apabila volume NaOHnya besar maka kadar asam salisilatnya juga sedikit. Pada keadaan ini, suhu dan ukuran permukaan sangat berpengaruh, semakin tinggi suhu semakin cepat suatu zat akan larut. Semakin kecil luas permukaan, semakin cepat pula suatu zat itu larut.

G. Kesimpulan
Kelarutan merupakan salah satu sifat fisikokimia yang penting untuk diperhatikan pada tahap preformulasi sebelum memformula bahan obat menjadi sediaan. Proses kelarutan zat dipengaruhi oleh polaritas pelarut yaitu momen dipolnya, dimana pelarut polar akan melarutkan lebih baik zat-zat polar dan ionik. Besarnya tetapan dielektrik yang terjadi pada proses kelarutan dapat diatur dengan penambahan pelarut lain.
D A F T A R P U S T A K A

Anonim, 1979. Farmakope Indonesia edisi III. Depkes RI, Jakarta
Jones, L. 2005. Farmasi Fisika edisi 1. Yogyakarta: UGM press
Martin, Alfred, dkk. 1990. Farmasi Fisik edisi 3. Jakarta: Universitas Indonesia press.

Rahardjo, sentot budi. 2008. Kimia Berbasis Eksperimen . Solo : PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.

R.W, Erindyah dan Sukmawati, Anita.2005. ‘Peningkatan Kelarutan Penta-gamavunon-1 melalui Pembentukan Kompleks dengan Polivinilpirolidon’, Jurnal Penelitian Sains & Teknologi, Vol. 6(2), Hal : 127 – 137.

Swarbrick, J. 1995. Kimia Fisika. Solo : Penerbit Erlangga
Yalkowsky, S. H. 1981. Techniques of Solubilization of Drugs, pp. 135-143, New York: Marcel Dekker.

Hello world!

Welcome to WordPress.com! This is your very first post. Click the Edit link to modify or delete it, or start a new post. If you like, use this post to tell readers why you started this blog and what you plan to do with it.

Happy blogging!

This entry was posted on Mei 27, 2012. 1 Komentar