PERCOBAAN III KOEFISIEN PARTISI

PRAKTIKUM FARMASI FISIK 1

PERCOBAAN III

KOEFISIEN PARTISI

OLEH

                                    NAMA                : MEI KURNIAWATI

                                    NIM                    : F1F111054

                                    KELAS               : A

                                    KELOMPOK    : II

                                    ASISTEN           : LD. ABDUL KADIR, S.Si

 

 

JURUSAN FARMASI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS HALUOLEO

KENDARI

2012

PERCOBAAN III

KOEFISIEN PARTISI

 

  1. TUJUAN PERCOBAAN

Mengetahui pengaruh pH terhadap koefisien partisi obat yang bersifat asam lemah dalam campuran pelarut kloroform-air.

 

  1. LANDASAN TEORI

Koefisien partisi minyak-air adalah suatu petunjuk sifat lipofilik atau hidrofobik dari molekul obat. Lewatnya obat melalui membran lemak dan interaksi dengan makro molekul pada reseptor kadang-kadang berhubungan baik dengan koefisien partisi oktanol/air dari obat.

Jika kelebihan cairan atau zat pelarut ditambahkan ke dalam campuran dari dua cairan tidak bercampur, zat itu akan mendistribusi diri diantara kedua fase sehingga masing-masing menjadi jenuh. Jika zat itu ditambahkan ke dalam pelarut tidak tercampur dalam jumlah yang tidak cukup untuk menjenuhkan larutan, maka zat tersebut tetap berdistribusi di antara kedua lapisan dengan perbandingan konsentrasi tertentu. Jika C1 dan C2 adalah konsentrasi kesetimbangan zat dalam pelarut1 dan pelarut2, persamaan kesetimbangan menjadi :

 

Tetapan kesetimbangan K dikenal sebgai perbandingan distribusi, koefisien distribusi atau koefisien partisi. Persamaan yang dikenal dengan hukum distribusi, jelas hanya dapat dapakai dalam larutan encer dimana koefisien keaktifan dapat diabaikan (Martin, 1993).

Pelarut secara umum dibedakan atas dua pelarut, yaitu pelarut air dan bukan air. Salah satu ciri penting dari pelarut tetapan dielektriknya (E), yaitu gaya yang bekerja antara dua muatan itu dalam ruang hampa dengan gaya yang bekerja pada muatan itu dalam dua pelarut. Tetapan ini menunjukkan sampai sejauh mana tingkat kemampuan melarutkan pelarut tersebut. Misalnya air dengan tetapan dielektriknya yang tinggi (E = 78,5) pada suhu 25oC, merupakan pelaruit yang baik untuk zat-zat yang bersifat polar, tetapi juga merupakan pelarut yang kurang baik untuk zat-zat non polar. Sebaliknya, pelarut yang mempunyai tetapan dielektrik yang rendah merupakan pelarut yang baik untuk zat non polar dan merupakan pelarut yang kurang baik untuk zat berpolar (Rifai, 1995).

Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi distribusi zat dalam larutan, yaitu :

  1. Temperatur, kecepatan berbagai reaksi bertambah kira-kira 2 atau 3 tiap kenaikan suhu 10oC.
  2. Kekuatan Ion, semakin kecil konsentrasi suatu larutan maka laju distribusi makin kecil.
  3. Konstanta Dielektrik, efek konstanta dielektrik terhadap konstanta laju reaksi ionik diekstrapolarkan sampai pengenceran tak terbatas, yang pengaruh kekuatan ionnya 0. Untuk reaktan ion yang kekuatannya bermuatan berlawanan maka laju distribusi reaktan tersebut adalah positif dan untuk reaktan yang muatannya sama maka laju distribusinya negatif.
  4. Katalisis, katalisis dapat menurunkan laju – laju distribusi (Katalis negatif). Katalis dapat juga menurunkan energi aktivitas denganss mengubah mekanisme reaksi sehingga kecepatan bertambah.
  5. Katalis Asam Basa Spesifik, laju distribusi dapat dipercepat dengan penambahan asam atau basa. Jika laju peruraian ini terdapat bagian yang mengandung konsentrasi ion hidrogen atau hidroksi.
  6. Cahaya Energi, cahaya seperti panas dapat memberikan keaktifan yang diperlukan untuk terjadi reaksi. Radisi dengan frekuensi yang sesuai dengan energi yang cukup akan diabsorbsi untuk mengaktifkan molekul – molekul (Cammarata, 1995).

Koefisien partisi terlarut dari organik-ke-air, K≡Corg / Caq, ditentukan secara eksperimen dengan menggunakan perunut radioaktif. Sevolume yang sama fasa organik dan air disetimbangkan dalam tabung terbuat dari teflon. Kedua cairan tersebut dipaksa-kontakkan dengan cara mengocoknya menggunakan pengaduk magnetik selama sekitar 24 jam. Kuantitas AA dalam kedua fasa ditentukan setelah sebelumnya disentrifugasi. Koefisien aktivitas AA kemudian dihitung dengan ungkapan :

 

bila K dan Kref  masing-masing adalah koefisien partisi AA pada konsentrasi tertentu garam, Cs, dan untuk Cs = 0 (rujukan) (Hendrawan, 2002).

Koefisien distribusi  atau koefisien partisi (partition coefficient),  K  didefinisikan sebagai perbandingan antara fraksi berat  solute dalam  fase ekstrak,   dibagi dengan  fraksi berat solute dalam fase rafinat,   pada keadaan kesetimbangan.

 

Koefisien distribusi dapat  juga dinyatakan dalam fraksi mol :

 

Dimana x°,y° masing-masing adalah fraksi mol solut dalam fase rafinat dan fase ekstrak (Kasmiyatun, 2008).

Sebagai molekul terdisosiasi dalam ion-ion salah satu dari fase tersebut. Hukum distribusi digunakan hanya untuk yang umum konsentrasinya pada kedua fase, yaitu monomer atau molekul sederhana dari zat tersebut (Martin, 1993).

 

 

 

  1. ALAT DAN BAHAN
    1. Alat
  • Erlenmeyer 250 ml           : 3 gelas
  • Gelas kimia 50 ml            : 4 gelas
  • Gelas kimia 250 ml          : 3 gelas
  • Botol semprot                  : 1 buah
  • Pipet ukur 25 ml               : 1 buah
  • Pipet ukur 10 ml               : 1 buah
  • Filler                                 : 2 buah
  • Pipet tetes                        : 1 buah
  • Water baths                      : 1 buah
  • Spektrofotometer                         : 1 buah
  • Kuvet                               : 2 buah
  • Corong pisah                    : 1 buah
  1. Bahan
  • Larutan dapar 0.01 M dengan pH 3, 4, dan 5
  • Kloroform 10 ml
  • Aquades
  • larutan FeCl3 1%

 

 

 

 

 

  1. PROSEDUR KERJA

 

 

Larutan dapar salisilat 0.01 M

Pada pH 3

 

 

 

 

–          Dimasukkan 20 ml ke dalam erlenmeyer

–          Ditambahkan larutan kloroform 10 ml

–          Diinkubasikan pada water baths dengan suhu 37°C dan sesekali diaduk

–          Dipipet 2 ml fase air dari larutan

–          Diencerkan hingga 50 ml

–          Ditambahkan 2 ml larutan FeCl3 1 % pada 2 ml dari hasil pengenceran

 

Warna Ungu

 

 

 

–          Diukur Absorbansinya pada λ 525 nm

–          Diamati

 

0.255 A

 

 

Larutan dapar salisilat 0.01 M

Pada pH 4

 

 

 

 

–          Dimasukkan ke dalam erlenmeyer 20 ml

–          Ditambahkan larutan kloroform 10 ml

–          Diinkubasikan pada water baths dengan suhu 37°C dan sesekali diaduk

–          Dipipet 2 ml fase air dari larutan

–          Diencerkan hingga 50 ml

–          Ditambahkan 2 ml larutan FeCl3 1 % pada 2 ml dari hasil pengenceran

 

Warna Ungu

 

 

 

–          Diukur Absorbansinya pada λ 525 nm

–          Diamati

 

0.196 A

 

 

 

 

 

Larutan dapar salisilat 0.01 M

Pada pH 5

 

 

 

 

–          Dimasukkan ke dalam erlenmeyer 20 ml

–          Ditambahkan larutan kloroform 10 ml

–          Diinkubasikan pada water baths dengan suhu 37°C dan sesekali diaduk

–          Dipipet 2 ml fase air dari larutan

–          Diencerkan hingga 50 ml

–          Ditambahkan 2 ml larutan FeCl3 1 % pada 2 ml dari hasil pengenceran

 

Warna Ungu

 

 

 

–          Diukur Absorbansinya pada λ 525 nm

–          Diamati

 

0.256 A

 

 

 

 

 

  1. HASIL PENGAMATAN
  2. Absorbansi awal asam salisilat =0,0401
  3. Volume fase air dan fase organik pada pH 3
  • Volume fase cair         = 29 ml
  • Volume fase organik   = 8 ml
  1. Volume fase air dan fase organik pada pH 4
  • Volume fase cair         = 25 ml
  • Volume fase organik   = 8 ml
  1. Volume fase air dan fase organik pada pH 5
  • Volume fase cair         = 26 ml
  • Volume fase organik   = 8 ml

 

  1. Tabel hasil pengamatan
pH Absorpbansi (A)
3 0,255
4 0,196
5 0,256

 

  1. Perhitungan

a)      Absortivitas Molar (Asam Salisilat)

A = e × b × C

Keterangan :

A = absortivitas

e = absortivitas molar

b = tebal kuvet

C = konsentrasi

Sehingga :

A = e × b × C

0,401 = e × 0,1 cm × 0,01 M

e = 401.10-3

10-3

= 401 /M.cm

b)      Larutan dapar salisilat pH 3, 4 dan 5 (Ka = 10-3), jika kadar total asam dan garamnya 0,01M tentukan :

  • Kadar asam salisilat dan natrium salisilat pada tiap pH 3

pH = -log [H+]

log [H+] = – 3

[H+] = 10-3

[H+] = Ka  , jika [asam] = X maka {garam} = 0,01 – X

10-3 = 1,06×10-3

= 1,06×10-3

10-5 – 10-3 x = 1,06 × 10-3

10-5         = 1,06 × 10-3 + 10-3x

10-5        = 2,06 × 10-3x

X  = 0,01

2,06

= 0,004585

= 4,85 × 10-3 M

C2o = 4,85 × 10-3 M

A = e × b × C

0,255 = 401 / Mcm × 0,1 cm × C

C = 0,255 M

40,1

= 6,3 × 10-3 M

C2’ = 6,3 × 10-3 M

  • Koefisien partisi semu (APC) asam salisilat pada pH 3

APC = (C2o – C2’) a

C2’ × b

= (4,85.10-3 M – 6,3.10-3 M) 29 ml

6,3.10-3 M × 8 ml

= -1,45 × 29

6,3 × 8

= -0,834

  • Kadar asam salisilat dan natrium salisilat pada tiap pH 4

pH = -log [H+]

log [H+] = – 3

[H+] = 10-3

[H+] = Ka  , jika [asam] = X maka {garam} = 0,01 – X

10-3 = 1,06×10-3

= 1,06×10-3

10-6 – 10-4 x = 1,06 × 10-3x

10-6         = 1,06 × 10-3 + 0,1 × 10-3x

10-6        = 1,16 × 10-3x

X  = 0,001

1,16

= 0,000862

= 8,62 × 10-4 M

C2o = 8,62 × 10-4 M

A = e × b × C

0,196 = 401 / Mcm × 0,1 cm × C

C = 0,196 M

40,1

= 48 × 10-4 M

C2’ = 4,8 × 10-3 M

  • Koefisien partisi semu (APC) asam salisilat pada pH 4

APC = (C2o – C2’) a

C2’ × b

= (0,862.10-3 M – 4,8.10-3 M) 25 ml

6,3.10-3 M × 8 ml

= -3,938 × 25

4,8 × 8

= -2,563

  • Kadar asam salisilat dan natrium salisilat pada tiap pH 5

pH = -log [H+]

log [H+] = – 3

[H+] = 10-3

[H+] = Ka  , jika [asam] = X maka {garam} = 0,01 – X

105 = 1,06×10-3

= 1,06×10-3

10-7 – 10-5 x = 1,06 × 10-3x

10-7         = 1,06 × 10-3 + 0,01 × 10-3x

10-7        = 1,07 × 10-3x

X  = 10-4

1,07

= 0,0000934

= 9,34 × 10-5 M

C2o = 9,34 × 10-5 M

= 0,0934 × 10-3 M

A = e × b × C

0,256 = 401 / Mcm × 0,1 cm × C

C = 0,256 M

40,1

= 6,3 × 10-3 M

C2’ = 6,3 × 10-3 M

  • Koefisien partisi semu (APC) asam salisilat pada pH 5

APC = (C2o – C2’) a

C2’ × b

= (0,0934.10-3 M – 6,3.10-3 M) 26 ml

6,3.10-3 M × 8 ml

= -6,2066 ×26

6,3 × 8

= -3,078

c)      Kurva pH vs Absorbansi

 

 

d)     Kurva pH vs Koefisien partisi semu

 

 

 

  1. PEMBAHASAN

Koefisien partisi merupakan suatu perbandingan kelarutan suatu zat (sampel) di dalam dua pelarut yang berbeda dan tidak saling bercampur, serta merupakan suatu harga tetap pada suhu tertentu. Fenomena distribusi adalah suatu fenomena dimana distribusi suatu senyawa antara dua fase cair yang tidak saling bercampur, tergantung pada interaksi fisik dan kimia antara pelarut dan senyawa terlarut dalam dua fase yaitu struktur molekul. Berdasarkan hukum Nernst, jika suatu larutan (dalam air) mengandung zat organik A dibiarkan bersentuhan dengan pelarut organik yang tidak bercampur dengan air, maka zat A akan terdistribusi baik ke dalam lapisan air (fasa air) dan lapisan organik (fasa organik). Dimana pada saat kesetimbangan terjadi, perbandingan konsentrasi zat terlarut A di dalam kedua fasa itu dinyatakan sebagai nilai Kd atau koefisien distribusi (partisi) dengan perbandingan konsentrasi zat terlarut A di dalam kedua fasa organik-air tersebut adalah pada temperatur tetap.

Pada percobaan kali ini, kita menggunakan senyawa organik yaitu asam salisilat. Hal ini dikarenakan asam salisilat merupakan senyawa yang mudah larut dalam pelarut organik daripada larut dalam air, sehingga senyawa tersebut mudah dipisahkan dari campurannya yang mengandung air atau larutannya. Metode penentuan koefisien distribusi asam salisilat dilakukan dengan penentuan konsentrasi asam salisilat baik yang ada dalam fasa air maupun fasa organik. Pada penentuan partisi harus dilakukan dengan air dan pelarut organik dalam jumlah yang sama. Pelarut yang kita gunakan yaitu kloroform dan air. Pelarut kloroform dan air tidak dapat saling campur, tetapi kedua pelarut ni dapat melarutkan sampel. Hal ini disebabkan air merupakan pelarut yang bersifat polar, artinya H2O memiliki keelektronegatifan yang besar dan kemampuannya yang besar untuk membentuk awan elektron sehingga mengimbas menjadi polar.  Sedangkan kloroform merupakan pelarut organik dan termasuk dalam pelarut non polar, dikarenakan didalamnya terdapat atom C yang akan menyebabkan ikatan menjadi simetris. Ikatan yang simetris tersebut akan menyebabkan momen dipol yang kecil. Sementara kepolaran suatu senyawa sangat tergantung pada besar kecilnya momen dipol.

Larutan yang akan dipisahkan fase air dan fase organiknya dipanaskan didalam inkubator yang berupa water bash. Pada proses pemisahan antara dua fase tersebut disertai dengan pengadukan. Hal ini dilakukan agar larutan mengalami pemanasan yang merata dan agar larutan tidak mengalami jumping di dalam water baths. Pada proses pengukuran absorbansi menggunakan alat spektrofotometer. Spektrofotometer hanya dapat membaca zat yang memiliki warna. Sehingga diperlukan zat FeCl3. Hal ini dikarenakan pemberian FeCl3 menghasilkan warna saat mencapai kesetimbangan atau titik ekivalen. Pemberian FeCl3 dihentikan pada saat larutan berwarna ungu. Serapan atau absorbansi pada masing – masing pH tersebut terbaca pada spektrofotometer pada panjang gelombang 525 nm. Nilai absorbansi yang kita peroleh pada pH 3 yaitu 0,255 A, pada pH 4 yaitu 0,196 A, dan pada pH 5 yaitu 0,256 A. Absorbansi berbanding lurus dengan konsentrasi. Makin tinggi konsentrasi nya maka makin tinggi pula absorbansinya.

Berdasarkan hasil percobaan yang kita lakukan, kita memperoleh nilai konsentrasi asam salisilat dan natrium salisilat disetiap pH. Konsentrasi (kadar) asam salislat pada pH = 3, pH = 4 dan pH = 5 ialah berturut – turut yaitu 6,3 × 10-3 M, 8,62 × 10-4 M, 9,34 × 10-5 M. Dari hasil yang diperoleh dari nilai konsentrasi asam salisilat, maka dapat dihitung pula kadar garam natrium salisilat. Dari kurva perbandingan pH dan natrium salisilat terlihat bahwa semakin rendah pH suatu sampel maka semakin rendah konsentrasi natrium salisilatnya.

Koefisien distribusi suatu senyawa dalam dua larutan yang tidak bercampur harus sama dengan 1. Hal ini bahwa senyawa tersebut terdistribusi secara merata pada dua fase yaitu fase minyak dan fase air. Jika nilai koefisien distribusi kecil dari 1 maka senyawa tersebut cenderung untuk terdistribusi dalam fase air dari pada fase minyaknya. Semakin kecil koefisien distribusi (Kd) yang dihasilkan semakin kecil akan diperoleh massa zat sisa terlarut pada pelarut air yang lebih besar.

Dalam percobaan ini terjadi suatu keadaan sampel yang digunakan yaitu asam salisilat mempunyai kecenderungan untuk menuju ke salah satu fase yaitu fasa air. Dimana kita ketahui bersama bahwa air merupakan pelarut yang polar dan pelarut yang ideal untuk senyawa-senyawa tertentu (kecuali yang tidak dapat larut dalam pelarut air tapi larut dalam pelarut organik lainnya).

 

 

 

 

  1. KESIMPULAN
  • Konsentrasi asam salisilat pada pH = 3, pH = 4 dan pH = 5 berturut – turut yaitu 6,3 × 10-3 M, 8,62 × 10-4 M, dan 9,34 × 10-5 M.
  • Nilai absorbansi pada pH = 3 yaitu 0,255 A, pada pH = 4 yaitu 0,196 A, dan pada pH = 5 yaitu 0,256 A
  • Semakin tinggi pH suatu sampel, maka makin kecil konsentrasi (kadar) natrium salisilatnya.

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Cammarata, s., 1995, Farmasi FisIka, UI-Press, Jakarta.

 

Hendrawan, Kajian Tentang Kinetika Transfer Asam Asetat Pada Antarmuka Cair-Cair Dengan Menggunakan Rotating Membrane Cell, 2002, Jurnal Matematika dan Sains, 2(7):71-76.

 

Kasmiyatun M. dan Jos B., EKSTRAKSI ASAM SITRAT DAN ASAM OKSALAT PENGARUH TRIOCTYLAMINE SEBAGAI EXTRACTING POWER BERBAGAI SOLVEN CAMPURAN TERHADAP KOEFISIEN DISTRIBUSI, 2008, J. Reaktor,  2(12):107-116.

 

Martin, Alfred, 1993, Farmasi Fisik jilid I Edisi III, UI-Press: Jakarta.

 

Martin, Alfred, 1993, Farmasi Fisik jilid II Edisi III, UI-Press: Jakarta.

 

Rivai, H., 1995, Azas Pemeriksaan Kimia, UI-Press, Jakarta.

 

Tinggalkan komentar